Komunitas Kretek menduga ada kepentingan industri farmasi di balik strategi pengendalian nikotin yang saat ini sedang dijalankan di Indonesia. Abhisam Demosa, Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010 2016 mengatakan, perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton dalam bukunya berjudul "Nicotine War" sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi korporasi farmasi internasional. Menurut Abhisam, mereka sukses melakukannya melalui kampanye global antitembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan organisasi NGO anti tembakau.
Menurut Abisham, buku "Nicotine War" merupakan hasil riset dan kajian Wanda Hamilton yang menguliti kepentingan bisnis obat obatan dan dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengendalian tembakau. "Kampanye yang masif bahkan mengglobal menjadikan rokok sebagai musuh yang harus diperangi bersama. Kemudian, hadir patgulipat korporasi farmasi yang terdiri dari pemerintah federal (AS), para dokter, organisasi nirlaba dan WHO," ujar Abhisa saat menjadi pembicara di acara diskusi dan bedah buku "Nicotine War" karya Wanda Hamiltondi Teater Abdul Ghani, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin, 7 Novemberr 2022. Abhisam berpendapat, kampanye antirokok selaras dengan kepentingan industri farmasi global agar regulator menaikkan cukai rokok setinggi tingginya.
"Sejak simplifikasi tarif mulai diberlakukan tahun 2012, cukai rokok melonjak sampai hampir 90 persen dan sebagian besar di antaranya ditandatangani oleh Sri Mulyani. Ini berimbas terhadap jumlah pabrik kretek yang menurun dari 2013 hingga 2018," terang Abhisam. Sementara itu, peneliti ekonomi Aprillia Hariani mengungkapkan, Indonesia menganut satu kurva (ekonomi) yang harus ditaati. Namun demikian, kurva tersebut harus menyesuaikan dengan kepentingan politik yang ada. Indonesia menganut satu kurva yang harus ditaati, tapi harus menyesuaikan dengan kepentingan politik.
"Salah satu pengusaha rokok di Kediri mengeluhkan tindakan pemerintah dalam melakukan pemberantasan rokok ilegal. Ia menilai tindakan pemerintah kurang efektif. Akhirnya, ia mengadu ke Komite Pengawas Pajak," ungkap Aprillia. Aprillia juga menjelaskan, di tengah pandemi Covid 19, satu satunya industri yang tumbuh secara ekonomi adalah Industri Hasil Tembakau (IHT). Pada 2021, kontribusi cukai hasil tembakau mencapai 173,8 Triliun. Artinya, mampu berkontribusi 10,11 persen kepada APBN. "Kebijakan cukai seperti pisau bermata dua. Di satu sisi meningkatkan penerimaan negara namun di satu sisi juga pemerintah mengklaim industri ini juga menyerap anggaran kesehatan negara," ujar Aprillia.
Pengajar Sastra Inggris Akhmad Zakky menegaskan, pentingnya mengkaji kembali Nicotine War. "Korporasi farmasi berusaha masuk melalui asosiasi profesi dan kemudian merangsek ke dunia mahasiswa kedokteran. Produk tembakau, pada akhirnya, tidak boleh tampil di ruang publik (media)," ujar Zakky. Zakky menilai, komoditi tembakau telah menjadi arena pertarungan global yang sangat ketat. Padahal, jika ditarik ke belakang, orang American Native menggunakan tembakau sebagai tradisi. Sekarang, tembakau justru dimusuhi. "Merokok itu membunuhmu, tapi negara mendapatkan untung besar dari produk tembakau. Ini paradoks sekali," ujarnya.
"Yang patut diketahui adalah dampak Nicotine War hadir di sekeliling kita. Kita hanya diberikan pengetahuan ini merusak atau itu tidak. Ini benar, itu salah. Padahal yang kita lihat adalah perang wacana," imbuhnya.